Bisnis Indonesia
Rabu, 24 Juni 2015
Oleh: Veronika Yasinta
JAKARTA – Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia pesimistis target pemerintah menurunkan biaya logistik menjadi 19% dari product domestic bruto bisa tercapai tahun ini.
Saat ini, biaya logistik berkontribusi mencapai 24% dari produk domestik bruto (PDB).
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) Budi Paryanta mengatakan ada dua kendala dalam upaya penurunan biaya logistik yakni infrastruktur dan regulasi.
Dia menilai komponen biaya logistik tertinggi berada di persoalan infrastruktur sebesar 70%, regulasi sebesar 20%, dan sisanya dipengaruhi faktor-faktor lain.
“Kalau 19%, saya kira masih kecil kemungkinannya. Infrastruktur kita di semester dua tahun ini kelihatannya baru akan beres,” katanya, Selasa (23/6).
Dalam regulasi, menurutnya, masih terdapat biaya yang menumpuk mulai dari biaya gudang, biaya regulated agent (RA), dan regulasi kementerian lainnya. Dia menuturkan biaya logistik di negara kepulauan seharusnya menyentuh kisaran 15% – 17,5%. Namun, biaya logistik kini sudah berada di 22,5% – 27% dari PDB.
Data Kementerian BUMN mencatatkan biaya logistik mencapai 24% dari PDB atau setara dengan Rp. 1.820 triliun per tahun, sementara negara Asean seperti Thailand hanya 15% dari PDB.
Hingga 2019, pemerintah akan menggenjit konektivitas daerah melalui tol laut.
Selain itu, pemerintah juga akan kebut membangun Sembilan ruas prioritas jalan tol Trans Jawa sejauh 651 km. Jalan yang menghubungkan Jakarta hingga Surabaya itu ditargetkan rampung pada 2018.
“Kalau [infrastruktur] bisa diwujudkan, dalam 2-3 tahun ke depan akan mengubah pola operasional kita yang dampaknya kelancaran arus barang dan itu menyangkut biaya logistik bisa ditekan,” ucapnya.
KOMITMEN BERSAMA
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki N. Hanafi menyakini efektivitas biaya logistik dapat terwujud jika ada komitmen bersama dari pemerintah dan pelaku logistik menuntaskan faktor pendorong tingginya biaya logistik.
Presentase penurunan hingga 19%, terangnya bisa dilakukan secara bertahap selama empat atau lima tahun.
“Bisa juga dalam setahun atau dua tahun bisa diturunkan. Masalahnya kita berani sama-sama punya komitmen tidak. Kami bersedia buka demi kebaikan bersama,” ujarnya.
Dia berpendapat pemerintah tidak sekadar membangun tol laut tanpa melanjutkan pembangunan konektivitas lain seperti kereta api, infrastruktur jalan, dan udara. Integrasi antarmoda itu dapat menemukan titik biaya logistik yang efektif sehingga menumbuhkan aktivitas logistik.
Saat ini, menurutnya, biaya logistik di Indonesia telah mencapai 26% dari PDB akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM), kenaikan upah buruh dan tarif listrik, penurunan kegiatan ekonomi, dan inflasi. Dia berpendapat biaya logistik bisa ditekan sekitar 5% dalam empat atau lima tahun akan mendorong pertumbuhan ekonomi sekitar 0,8 % – 1%.
Dia berharap pemerintah melakukan reformasi di bidang logistik dapat dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya menyelesaikan persoalan dwelling time.
“Menurut saya itu [dwelling time] bukan masalah yang berat kalau kita punya komitmen bersama. Juga lupa, enggak bisa juga dwelling time itu dibandingkan dengan sampling contohnya negara tetangga, seperti Singapura. Singapura kan lebih banyak transshipment-nya,” katanya.
Source by Bisnis Indonesia